Data kepemilikan manfaat di pengadaan
Ringkasan
Pengadaan adalah pembelian barang, pekerjaan, atau jasa. Sebagai bagian dari jaminan minimum selama pembelian, sebagian besar pelanggan ingin mengetahui identitas penjual. Hal ini berlaku ketika pelaku bisnis membeli barang, pekerjaan, atau jasa (pengadaan) dan ketika pemerintah melakukan hal yang sama (pengadaan publik). Dua belas persen dari PDB global dibelanjakan untuk pengadaan publik pada 2018, [1] di mana negara-negara berpenghasilan rendah secara proporsional cenderung melakukan pembelanjaan lebih besar [2] senilai USD 13 triliun per tahun. [3] Agar dapat benar-benar mengetahui identitas mitra bisnis pemerintah, kita harus mengetahui pemilik langsung dan pemilik tangan pertama sebuah perusahaan (kepemilikan sah) sekaligus pemilik manfaat yang pada akhirnya menerima manfaat dan melakukan pengendalian atas sebuah perusahaan.
Pengetahuan tentang pemilik manfaat sebuah perusahaan dapat membantu mengungkapkan struktur kepemilikan yang sesungguhnya dari sebuah badan hukum. Banyak pemerintah telah berkomitmen terhadap transparansi kepemilikan manfaat (BOT) – yaitu, pengumpulan data kepemilikan manfaat (BO) perusahaan oleh pemerintah di dalam register dan publikasi susulannya untuk pengawasan publik – sebagai bagian dari kebijakan melawan tindak pidana pencucian uang dan memberantas pendanaan terorisme (AML/CTF). Di luar itu, data kepemilikan manfaat sangat bernilai dalam membantu mengelola risiko operasional, keuangan, dan reputasi dengan mengungkapkan pemilik dan pengendali perusahaan yang sesungguhnya. Kini muncul pengakuan yang semakin luas atas register yang dijalankan pemerintah, register pusat, dan register terbuka sebagai sumber primer data ini. [4]
Meskipun pengelolaan risiko dengan menggunakan berbagai jenis informasi kepemilikan dalam pengadaan publik bukanlah hal baru, penggunaan data yang dikumpulkan dan dipublikasikan sebagai bagian dari BOT oleh pemerintah relatif masih belum tergarap. [5] Jumlah negara yang mulai mengimplementasikan BOT semata-mata demi tujuan pengadaan publik terus bertambah, termasuk Bangladesh, Kolombia, Mesir, dan Moldova. [6]
Pemerintah biasanya memiliki kebijakan pengadaan yang bertujuan mencegah korupsi dan penipuan sekaligus mendorong persaingan dan transparansi yang adil dan setara untuk memberikan jasa yang bernilai ekonomis (value for money) bagi wajib pajak. Pemerintah belum lama ini mulai merumuskan tujuan kebijakan tambahan melalui pengadaan publik (misalnya, menjamin kesetaraan gender dan inklusi sosial (GESI), atau mendorong inovasi).
Risalah kebijakan ini mengulas cara-cara data BO berikut ini dalam meningkatkan proses dan tujuan pengadaan publik:
- Mencegah penipuan dan korupsi dengan membantu mendeteksi kemungkinan tanda-tanda persekongkolan tender dan konflik kepentingan;
- Meningkatkan penyediaan jasa melalui persaingan dengan mengelola risiko agar dapat memperluas dan mendiversifikasi basis pemasok;
- Memverifikasi kelayakan pemasok dalam pengadaan strategis dan preferensial yang didasarkan pada kepemilikan;
- Pengawasan, verifikasi, dan akuntabilitas oleh masyarakat sipil dan publik melalui publikasi data;
- Menilai efektivitas kebijakan & meningkatkan kualitas kebijakan dengan menganalisis data BO bersama-sama dengan kumpulan data lain seperti data kontrak dan data belanja terbuka;
- Meningkatkan pengadaan secara tidak langsung di tingkat sistem dengan memperbaiki lingkungan bisnis, dengan mengizinkan perusahaan menggunakan data BO untuk mengelola dan meredam risiko dalam proses uji tuntasnya sendiri dan proses AML lainnya.
Bagi pelaksana, risalah kebijakan ini mengulas sejumlah keputusan yang harus dibuat mengenai waktu, tempat, dan cara mengumpulkan data serta cara melakukan verifikasi data tersebut sebaik-baiknya, yang kesemuanya akan memengaruhi bisa tidaknya dan cara pemerintah menggunakan data BO dalam pengadaan. Sebagian besar studi kasus berfokus pada pengadaan publik di tingkat nasional dan dapat diterapkan pada pengadaan di tingkat pemerintah daerah, yang tingkat uji tuntasnya biasanya lebih rendah.
Saat ini tampaknya tidak banyak pemerintah yang menggunakan data BO dalam pengadaan. Ketika pemerintah telah mengimplementasikan BOT, data ini tidak digunakan secara sistematis dalam proses pengadaan. Sebenarnya, penggunaan data secara sistematis merupakan langkah relatif dasar yang dapat memberikan manfaat nyata. Untuk yurisdiksi yang belum berkomitmen atau mengimplementasikan BOT, berbagai contoh dan penelitian dalam risalah ini memberikan dasar yang bermanfaat dalam meningkatkan pengadaan.
Gambar 1. Cara informasi kepemilikan manfaat meningkatkan pengadaan
Pemerintah dapat mengumpulkan informasi BO di dalam register pusat sebagai bagian dari interaksi terkait pengadaan dengan perusahaan atau bagi semua perusahaan dalam suatu perekonomian (halaman 19). Register lintas sektor ekonomi merupakan kumpulan data rujukan yang bermanfaat bagi agen-agen pengadaan dan menjadi sumber data dengan kemungkinan kualitas yang lebih tinggi (halaman 20). Data BO yang tersedia secara komersial juga menjadi sumber data potensial meskipun muncul berbagai isu seputar cakupannya. Data BO komersial tidak dapat menjamin dan memberikan tingkat cakupan yang mampu diberikan oleh register yang dijalankan oleh pemerintah (halaman 20).
Data BO memiliki sejumlah kasus penggunaan secara langsung dalam proses pengadaan (halaman 10). Data dari register di tingkat perekonomian publik juga memberikan manfaat tidak langsung bagi sistem pengadaan karena perusahaan dapat menggunakan data ini untuk mengelola dan mengurangi risiko dalam proses uji tuntas mereka sendiri (halaman 18). Penggabungan data BO dengan data kontrak akan memudahkan analisis kebijakan sehingga dapat menilai efektivitas kebijakan pengadaan dan mematangkan kebijakan yang akan datang (halaman 20). Publikasi data memungkinkan pengawasan dan akuntabilitas publik serta verifikasi. Publikasi data juga memudahkan masyarakat sipil untuk memahami dan menganalisis pengeluaran pemerintah dengan lebih baik serta menangkal potensi perbuatan melanggar hukum (halaman 22).
Sumber: Diadaptasi dari mySociety and SpendNetwork
Catatan kaki
[1] Erica Bosio and Simeon Djankov, “How large is public procurement?”, World Bank Blogs, 5 Februari 2020, https://blogs.worldbank.org/developmenttalk/how-large-public-procurement.
[2] Simeon Djankov, Federica Saliola, and Asif Islam, “Is public procurement a rich country’s policy?”, World Bank Blogs, 1 Desember 2016, https://blogs.worldbank.org/governance/public-procurement-rich-country-s-policy.
[3] “How governments spend: Opening up the value of global public procurement”, Open Contracting Partnership (OCP), 2020, https://www.open-contracting.org/what-is-open-contracting/global-procurement-spend/.
[4] “Global Anti-money Laundering Survey Results 2017”, Dow Jones and SWIFT, 2017, 25, https://fraudfighting.org/wp-content/uploads/2018/02/ RC_AML-Survey2017_v5.pdf.
[5] “2016 Procurement Framework: Mandatory Direct Payment & Beneficial Ownership”, World Bank, April 2018, https://nl4worldbank.files.wordpress.com/2018/05/direct-payment-and-beneficial-ownership-outreach-programapril-2018.pdf.
[6] “WP1502: Beneficial ownership transparency and open contracting and public procurement (comments from Anti-Corruption Summit)”, Wilton Park, 2016, https://www.wiltonpark.org.uk/wp-content/uploads/WP1502-Comments-on-beneficial-ownership-transparency-and-open-contractingand-public-procurement-at-Anti-Corruption-Summit.pdf; “IMF COVID-19 Anti-Corruption Tracker”, Transparency International, 20 September 2020, https://www.transparency.org/en/imf-tracker.